Senin, 25 Juni 2012

Tak Kusangka



Terdengar alunan musik di telingaku. Aku mencari dimana suara itu berasal. Alunan lagu itu bukan alunan alat musik, melainkan alunan nyanyian yang keluar dari mulut seseorang, tapi siapakah yang menyanyi? Aku rasa, di sekitar rumahku, tak ada yang mampu mengalunkan lagu sebagus itu. Aku rasa, lebih baik aku coba keluar rumah dan mencari darimana suara itu berasal.

Dengarkanlah kata hatiku, bahwa ku ingin untuk tetap disini…… Tak perlulah aku keliling dunia biarkan ku disini…..”

Alunan lagu itu semakin melekat dalam telingaku, entah siapa yang menyanyikannya. Setelah kutelusuri, aku mengetahui darimana suara itu berasal, tak kusangka, rupanya suara itu adalah suara tetanggaku yang sekaligus teman sekelasku, Mody. Namanya merupakan sebuah singkatan, Harmoni dan Melody. Tapi, tak kukira bahwa ia memiliki suara yang sangat bagus, padahal di sekolah ia termasuk anak yang pendiam dan tertutup. Bahkan, jika ia disuruh guru untuk membaca sebuah artikel, ia tidak mampu membacanya dengan jelas. Aku sebenarnya tak pernah mendengarnya bernyanyi, baru kali ini. Aku rasa, aku butuh belajar bernyanyi darinya.

Aku bingung, mengapa aku tidak dapat bernyanyi sebagus Mody. Padahal, nilaiku lebih tinggi darinya. Ah, mungkin karena bukan bakatku. Besok, aku akan coba bicara padanya.”  Kataku pada diriku sendiri di depan cermin.

*_______________*

“Mody, Tunggu!”
“ Pa… Pagi, Lily” sebenarnya namaku bukan Lily, tapi Citra Kally Nandiatha, tapi Lily nama panggilanku, dari 2 huruf belakang nama Kally-ku.

“kamu tidak perlu gugup, Mod. Aku gak galak kok. Gak bakal aku gigit juga kok. Hehehe”
“Ngomong-ngomong, ada apa ya, Lily?” Wah, gak kusangka, dia tersenyum.
“Kamu belajar nyanyi dari siapa?” Tanyaku padanya.
“…………” Dia tak menjawabku. “Mody, kamu kenapa? Kenapa Mod?”
“ Emm, ………. Aku… Aku tidak bisa nyanyi kok.”

Entah kenapa ia berbohong. Tapi, kalau aku maksa dia untuk jawab, nanti dia makin diam. Lebih baik aku masuk kelas.

“Mody, aku masuk kelas dulu ya, daah”
“I... Iya Lily.” Ia menjawabku dengan ramah

*_______________*

Sore ini, aku harus mendengar alunan lagunya lagi. Aku benar-benar bangga dengan bakatnya. Aku rasa, suaranya seperti membuatku terbang ke langit. Astaga, aku jayus. Hahaha... Tunggu, rasanya, kemarin jam segini alunannya sudah terdengar, tapi kenapa hening sekali disini? Hmm, daripada aku bosan menunggu alunan itu keluar, lebih baik aku ke supermarket, beli buah apel karena aku sedang ingin makan buah itu. Hehehe…

Sewaktu perjalanan pulang ku dri supermarket ke rumah, aku melihat seseorang mirip Mody. Tapi, kalau dipikiri-pikir itu memang benar Mody. Yeaay! Kesempatan emas. Bisa jalan bareng nih sama dia.

“Mody!”
“Ada apa Lily?”
“Mau gak kamu temani aku makan di rumah makan padang itu?”
“Baiklah”

Huh. Rumah makan ini panas banget! Aha! Mending Tanya Mody tentang kemarin, semoga ia mau jawab.

“Kemarin, aku dengar kamu nyanyi loh. Suara kamu bagus banget! Kamu belajar dari mana?”
“A… aku belajar dari ibuku. Dulu, ia seorang guru musik, tapi sekarang sudah pensiun.”
Hmm, kesempatan nih untuk belajar!
“aku boleh belajar gak sama kamu? Aku mau bisa nyanyi soalnya.”
“Bo… Boleh aja sih, tapi……”
“Tapi apa?” Kataku tak sabar.
“Tapi aku keras loh, Ly kalau ngajar. Hehehe”
Apa??? Cewek pendiam ini keras kalau ngajar? Hmm, gak percaya sih, tapi coba dulu deh.
“Gak apa kok Mod. Oh ya, kapan mulai belajarnya nih? Aku udah gak sabar.”
“Besok jam 4 sore yah! Datang tepat waktu! Telat satu detik…. Emm, kamu akan mendapat hukuman! Aku pulang dulu ya! Daah……”
Haaaaaah??? Serius??? Tadi itu Mody??? Kok galak amat sih? Waduh, gawat nih nanti. O ow!

*_______________*

“Jam 15:58! Sip! Gak telat. Tapi, harus cepet-cepet masuk ke rumahnya nih, kalau gak, tar aku malah dapat hukuman. Aduuuh, kayak bukan Mody.”

“5… 4... 3… 2…” Rupanya, cewek yang jago nyanyi ini menghitung kedatanganku.
“Sampai!” huuft… capek banget naik tangga dari bawah.
“oke, hamper telat 1 detik! Sekarang, buka jendelanya dan minum air itu!”
“ya ya ya… sudah haus aku gara-gara tangga rumah kamu yang tinggi banget” aku mengatakan semuanya dengan ngos-ngosan.
“Cukup! Waktu kamu habis! Sekarang, kita mulai belajar tentang teori musik!”
“Haah? Teori? Jadi, kita belajar teori? Bukan praktek?”
“mau langsung praktek?
“mau laah” aku langsung menjawab dengan tidak sabar
“oke, kalau gitu kamu berarti sudah ngerti musik. Kalau gitu, apa arti musik? Musik jazz itu seperti apa? Seriosa itu yang seperti apa? Dan…”
“stop!!! Oke oke. Aku belum ngerti musik. Tapi, emangnya gak bisa ya kalau langsung praktek, Mod?” Aku langsung memotong kata-kata Mody.
“enggak! Karena kamu belum mengerti musik!” ia berkata padaku sambil tersenyum licik. Aku gak nyangka, rupanya Mody bisa galak dan disiplin seperti itu. Apa aku akan kuat menjalani latihan dengannya?
“oke. Aku ikut mau kamu saja.”

Mody pun mulai menjelaskan segalanya tentang music yang ia ketahui. Banyak sekali yang dikatakan oleh Mody hingga 40 menit, dan ketika semua kata-katanya sudah selesai diucapkan, ia pun mengajakku latihan praktek. Ini yang kutunggu dari tadi.
“keluarkan suaramu, pegang perutmu,rasakan dan keluarkan suaramu itu dari mulut! Aaaaaaaaaa.”
“aaaaaaaa.”
“stop! Bukan begitu, tapi lebih bulat, aaaaaaaa”
“aaaaaaaaa.”
“ya begitu! Bagus! Lagu apa yang kamu suka? Coba kamu nyanyikan penggalan lagunya!”
“Lagu over the rainbow. Somewhere over the rainbow, way up high, there’s a land that I heard of once in a lullaby. Somewhere over the rainbow, skies are blue, and the dreams that you dream really do come true. Gimana? Bagus kan?” kataku sambil tertawa.
“maaf, sedikit fals.”
“ya, gak apa kok.” Aduuh, padahal dalam hatiku, aku kecewa, tapi mau gimana lagi. Huh!
“Lily, aku rasa cukup untuk hari ini, tubuhmu sudah penuh keringat, kita lanjutkan besok di jam yang sama. Tapi kalau kamu gak bisa datang tidak apa, karena besok hari minggu. Mungkin saja kamu ada acara keluarga.”
“besok aku pasti datang. Kalau gitu, aku pulang dulu. Daah Mod.”
“daah. Jangan telat ya!”
“Yaa. Sampai nanti!” aku menjawabnya dalam jarak jauh sambil berlari menuju rumah ku.

*_______________*

“aaaaaaaaaa” masih fals gak ya? Aduuh, Si Mody bener-bener deh, sesusah ini ya latihannya? Hufft…… Jam 17.30! mandi deh, badanku sudah penuh keringat, sehabis mandi, perutku akan kuisi dengan makanan yang banyak. Hahaha.
Persahabatan bagai kepompong, mengubah ulat menjadi kupu-kupu. Persahabatan bagai kepompong, hal yang tak mudah berubah jadi indah. Semua yang berlalu biarkan berlalu, seperti hangatnya mentari, siang berganti malam, sembunyikan sinarnya, hingga ia bersinar lagi.” Di kamar mandi pun, aku suka bernyanyi, walaupun aku tahu suaraku tak bagus. Tapi, kata Mody, kalau aku niat untuk berlatih agar memiliki suara yang bagus, dijamin bakat menyanyi akan keluar. Haa, sudah gak sabar punya suara bagus.

“Lily!!! Mandinya jangan lama-lama! Setelah mandi kamu langsung turun ya, kita makan bersama!”
“Iya ma!”
“Nanananannanananna” sampai-sampai, setelah habis mandi pun aku masih bersenandung.
“makan apa nih, Ma?”
“kamu kan bisa lihat sendiri di depan matamu itu!”
“Iya, iya. Ma, besok aku ke rumah Mody ya, Ma?”
“Besok?” mama bertanya seperti itu yang kesannya bahwa besok ada acara.
“Iya, Ma. Besok. Memangnya kenapa, Ma?”
“LIly, kamu lupa ya? besok itu Nenek ulang tahun, mana bisa kita tidak kesana.”
“Oh, iya. Aku lupa, besok kan nenek ulang tahun. Aduuh, gimana nih? Aah, nanti aku SMS dia aja deh. Maaf, Ma. Aku lupa. Nanti aku SMS Mody deh kalau begitu.”
“Ya, sudah, sekarang kamu selesaikan makan mu, lalu kamu langsung SMS, jangan sampai lupa!”
“Sip, Ma! Nih sudah selesai. Aku naik keatas dulu ya.”
“Lily, jangan lupa belajar! Jangan tidur malam-malam, Ly!”
“Ya, Ma!”

Mody, maaf. Besok aku gak bisa ke rumah kamu, aku lupa kalau nenekku ulang tahun, jadi aku harus ke rumah nenekku. Maaf ya.
Lily
Aku sudah SMS Mody, yaah tinggal tunggu jawaban sambil belajar. Ngomong-ngomong besok ada ulangan gak ya? Emm, …………. Gak ada! Sip!

 You have message!

SMS! Pasti dari Mody, oke aku lihat.

Ly, maaf yah waktu itu aku udah buat kamu malu.
Diana

Rupanya Diana. Minta maaf sih minta maaf tapi itu sudah telat. Menyebalkan. Ya sudahlah, aku balas saja. Lagipula, kenapa tidak Mody aja sih yang SMS?

Iya, Na. Gak apa-apa kok.
Lily

Duuh, mana sih SMS dari Mody? Lama banget sih! Tik tok, tik tok, tik tok. Detak jarum jam itu juga seperti sedang menghitung lamanya SMS itu datang.

You have message!

Iya, Ly. Gak apa kok. Tapi, hari selasa kamu latihan ya, tapi jam 3 sore. Oke? Hari senin aku gak bisa.

Nih dia yang ditunggu, SMS dari Mody! Oke, aku bales SMS-nya.

Ok, Mod! Gak sabar nih…… ^^

SMS udah, belajar udah, mandi udah, makan udah, napas selalu. Nah, yang belum hanya satu, tidur! Sudah malam sih, tidur dulu deh, besok kan mau ke rumah nenek.
“Good Night my pinky bear!” ucapku pada boneka kesayanganku

*_______________*

Kini, aku sudah pulang dari rumah nenek, dan sekarang aku berada di sekolah. Oh ya, kemarin aku menemukan formulir pendaftaran lomba menyanyi yang diadakan 2 hari lagi, tempatnya di Taman Sekar Indah. Aku akan memberikan ini untuk Mody, aku akan mengajaknya mengikuti lomba ini. Nah, itu dia Mody! “Mod! Aku punya ini nih buat kamu!” Mody melihat formulir itu dan membacanya. Setelah membaca, ia berkata, “Ly, kamu ingin aku ikut lomba ini ya?” Rupanya, Mody tahu yang aku pikirkan, aku pun mengangguk penuh harap. Mody tersenyum, lalu mengatakan bahwa ia akan ikut lomba itu. Tentu saja aku senang begitu mengetahui hal itu, aku langsung memeluk Mody dan tertawa sambil mengucapkan terimakasih padanya.

Keesokan harinya, aku pergi ke rumah Mody untuk memperhatikannya berlatih, aku tidak ikut latihan, sebab kali ini ia yang akan menyambut peristiwa penting. “Ly, aku grogi nih. Gimana kalau besok aku gak menang dan malah ditertawakan orang-orang disana?” tiba-tiba saja Mody berkata seperti itu, tidak ada yang bisa kukatakan selain, “Jangan grogi dong, kamu pasti bisa, Mod! Pasti deh! Berjuang! Aku dukung loh! Oh ya, aku gak latihan kan?” ketika Mody mendengar itu, ia langsung tersenyum kepadaku dan mengangguk. Aku jadi cengar-cengir deh. Tidak lama, aku pamit dari rumah Mody, dan pulang ke rumah. Di rumah, aku memikirkan yang akan terjadi besok, aku jadi gak sabar nih nunggu datangnya hari esok.
*_______________*


“Mod, Mody!” Kini aku berada di rumah Mody untuk menjemputnya, namun ia masih tertidur pulas. Yah, itu tandanya, aku harus membangunkan dia. Dan kini, aku tahu, bahwa Mody tuh susah banget bangun tidurnya. Nih dari tadi aku udah coba bangunin dia dengan manggil secara halus, guyur dia, mukulin panci, sampai segala cara yang di otak ku itu habis. Kalau kayak gini, namanya harus teriak, “MODYYYYYYY!!!!!” Gubrak!? Oke! Barusan Mody jatuh begitu mendengarku, dan ia langsung garuk-garuk kepala,  melihat kearah ku, dan akhirnya melotot sambil berkata, “Lily!! Kenapa sih?? Harus ya bangunin aku pakai teriak segala? Manggil dengan volume kecil juga bisa kan?” Kini Mody malah menyalahkanku, aku balas saja. “Oh! Tapi, sayangnya, kamu itu dari tadi gak bangun-bangun! Padahal, aku sudah pakai berbagai macam cara, Mod.” Muka Mody menjadi merah karena malu, kini Mody minta maaf dan bersiap-siap pergi ke tempat lomba itu diadakan.

“Duh, gimana nih, Ly? Pesertanya banyak banget. Suaranya juga kayaknya pada jernih. Kalau aku kalah gimana nih, Ly?” Tak kusangka, rupanya Mody bisa ketakutan. “Gak apa kalau kamu kalah, yang penting kamu nanti akan berusaha semampunya. Tapi, sekarang kamu jangan negative thinking dulu dong, Mod.” Mody tersenyum. Aku merasa ada seseorang yang menatap kami, rupanya aku benar. Ada seorang cewek yang menatap kami dengan sinis, aku tatap sinis aja balik. Dia malah kesal tuh sekarang. Aku dan Mody sekarang menuju ke belakang panggung untuk mendengar arahan dari panitia acara ini. Semua peserta ada disana, kalau tidak salah, disana terdapat ratusan peserta.

Selagi kami makan, ada seorang cewek yang menghampiri kami, rupanya cewek itu lagi. Dia mengolok-olok Mody dengan berkata, “Cih! Cewek kampung mau ikut lomba nyanyi yang hits kayak gini. Ngaca dong! Atau jangan-jangan gak punya kaca ya? Aduuuh, kasihan banget deh, gara-gara kampungan, kaca aja sampai gak beli. Dasar…..” “Dasar apa? Hah? Jawab! Kalau mau mengolok-olok dia, hadapi aku dulu! Beraninya sama yang lemah! Hhh! Oh iya, yang kampungan bukannya kamu ya? Gak kenal, tapi bisa berani ngajak kita ngomong dengan bahasa kamu yang gak sopan itu! Harusnya, kamu tuh yang ngaca!” aku memotong pembicaraan cewek itu. Mody melerai kami, “Sudah, Ly, diamkan saja. Terserah dia mau ngomong apa, kita gak usah bikin rebut, Ly.” Aduh, Mody kok malah gak marah sih? “Tapi, Mod….” “Mending kita pergi, Ly.” Dia memotong kata-kataku dan menarik aku pergi.

“KITA SAMBUT, CELLY!!!!” Terdengar host sudah memanggil salah Satu peserta. Oh GOD, rupanya yang namanya Celly itu, cewek tadi! Argh! Gak banget, deh! Sekarang, dia malah lagi menghadap kearah kita. “Aku  takut  kamu pergi,  kamu  hilang, kamu sakit” astaga, suaranya sumbang banget, malah tadi dia berani banget ngejek Mody! bodo lah, pasti Mody lebih bisa dari dia. Sekarang giliran Mody. “Mody!!! Ayo Mody! Kamu pasti bisa!” Ups! Aku teriak seenaknya nih. “S’lamat datang cinta, dihatiku, ku sambut hadirmu” Asiiik, suaranya mantap banget. Aduh, yang lain KO deh.

“PENGUMUMAN JUARA!! JUARA 3 DIRAIH OLEH, MODY!!!”  Eeeh? Kok Mody juara tiga sih? Parah nih! Mody melihat aku kesal, dia bilang, “Sudah, gak apa kok. Yang penting aku dapat juara. Iya juga sih, tetap bangga, soalnya si Celly gak dapat hadiah. Hihihi. Aku sama Mody malah jadi tertawa girang gini deh. Ini pasti gara-gara rasa bahagia kita walaupun gak menang. Hasil jerih payah Mody dalam bidang tarik suara. Aku mau, suatu hari nanti, aku mempunayi nasib sama seperti Mody, bisa juara dalam satu perlombaan musik.

10 TAHUN KEMUDIAN

“Oh, gitu ya, Mod. Mentang-mentang sudah dewasa, kamu gak kenal sama aku.” Kini sepuluh tahun beralu, dan aku menemui sosok Mody di Bali, tapi sepertinya dia lupa. Begitu ia melihat kearahku, baru deh dia sadar kalau aku ini teman lamanya, Lily. Dia malah tertawa girang dan memelukku rindu pada sahabat kecilnya ini.

Ayah Sayang Aku




“Dasar anak tidak tahu diri! Sudah tiga hari kamu pulang malam dan tidak ikut makan malam. Kemana sih kamu?” Lagi-lagi ayah memarahiku, padahal kemarin aku sudah minta izin pada ibu. Ibu sedang pergi, aku memberitahu ayah, bahwa aku sudah izin pada ibu, tapi ayah tidak percaya. Menyebalkan!

“Ayah jahaaaat!!!” aku berteriak di kamar sekeras-kerasnya, walaupun aku tahu ayah pasti mendengarnya. Aku tidak perduli seberapa besar saying ayah padaku, tapi yang pasti, aku tahu bahwa rasa saying ayah tidak lebih besar dari rasa bencinya terhadapku. Keesokan harinya, ayah tidak mau bicara denganku dan ibu, hari itu semuanya diam, hening, tidak terdengar suara, kita semua sibuk dengan kegiatan masing-masing. Sorenya, aku pergi keluar rumah, menuju taman. Ditaman, aku hanya duduk pada ayunan, disana sangat sepi, aku merasa hanya aku seorang disana.

Dugaanku salah, ada makhluk lain selain aku, aku merasa makhluk itu makin dekat denganku. Tidak kusangka, itu adalah anjing hearder, anjing yang sangat kutakuti, karena aku refleks, aku berlari sehingga anjing itu mengejarku, akupun berlari tunggang-langgang. Aku terus berlari, sampai aku pergi ke suatu lorong yang merupakan jalan buntu. Aku sudah tidak tahu harus kemana, anjing itu semakin dekat. Akhirnyam aku pasrah, aku hanya bisa duduk termenung. Namun, tiba-tiba ada seseorang yang menghantam anjing itu, itu ayahku! Aku sudah tidak dapat berkata apa-apa, aku langsung memeluk ayah, dalam hati aku berkata, “ayah, maafkan aku.”

Rabu, 17 Agustus 2011

gadis cacat yang sukses


Ketika seorang kakek mencangkul sawah, ia mendengar suara bayi menangis. Ia pun mencari dimana bayi itu berada. Di keranjang bayi itu terdapat surat bertuliskan nama bayi tersebut, Linda. Ketika sang kakek melihat bayi tersebut, sang kakek terlihat bingung dengan keadaan bayi itu, bayi itu terlihat tidak memiliki kaki yang sehat. Bayi itu rupanya cacat, tapi sang kakek tidak meninggalkan bayi itu sendirian, melainkan membawanya pulang dan merawatnya.

Empat belas tahun pun berlalu, yang dulunya bayi imut, sekarang sudah berupa menjadi gadis cantik, namun tidak memiliki kaki yang sehat. Hal itu tidak membuat anak itu menjadi minder, melainkan menjadi tambah semangat untuk menjalani hidup. Linda tumbuh menjadi anak yang pintar, dan sangat dibanggakan orang-orang sekitar lingkungan rumahnya, serta teman-temannya.

Sewaktu Linda mengunjungi kakek di sawah, ia terjatuh. Kakinya, masuk ke dalam Lumpur. Dalam hati ia berteriak, “kakek, tolong aku!” tapi ia tidak berteriak kepada kakek yang benar-benar ada di depannya, ia ingin mencoba bangun sendiri, tapi berkali-kali ia mencoba, ia terus terjatuh. Tanpa disadari Linda, rupanya kakek melihatnya. Kakek juga tidak membantu, melainkan diam dan memperhatikan dari jauh, karena sang kakaek ingin Linda menjadi anak yang mandiri dengan keadaannya yang seperti itu. Dengan susah payah, Linda pun dapat berdiri, syukurlah.

Ketika Linda berumur 18 tahun, seorang dari perusahan datang ke rumahnya, tanpa diundang. Ia menawarkan pekerjaan pada Linda, sebagai office girl, tapi Linda menolak, karena kakeknya ingin Linda sukses dengan kemampuan yang ia miliki. Siapa bilang Linda tidak punya bakat? Siapa bilang orang cacat tidak memiliki bakat? Justru, lebih banyak orang sukses karena cacat. Linda pun begitu, ia punya bakat yang terpendam dalam dirinya. Ia bisa melukis, di rumahnya banyak terdapat lukisan yang telah ia lukis.

Keesokan harinya, ia pergi ke suatu pasar, menjual beberapa lukisannya, namun lukisannya dijual dengan harga yang sangat murah, padahal bagus. Saat itu, ada seorang pengusaha, dan ia menghampiri Linda sambil bertanya, “Lukisan ini ingin kau jual berapa?” Linda pun menjawab, “hanya 20.000 rupiah saja pak. Bapak mau beli?” siapa yang sangka, bahwa bapak itu akan menjawab, “siapa yang tidak mau membeli lukisan sebagus ini? Apalagi dibuat oleh anak seperti kamu. Tapi apa benar lukisan-lukisan ini hanya kau jual seharga 20.000 rupiah? Apa kau tidak salah? Kalau di kota, lukisan seperti ini dijual 500.000 rupiah. Apa kau yakin?” seketika Linda bingung, “apa iya sampai semahal ituy ya?” ucapnya dalam hati. “Iya pak, saya hanya menjualnya seharga 20.000 rupiah.” Bapak itu menjawab, “baiklah, saya beli semuanya, tapi saya beri 100.000 lebih.” Linda kaget, “serius pak? Makasih pak!!” Linda pun senang, sehingga ia benar-benar serius melukis, dan ia akan menjual semua lukisannya dengan harga yang sepantasnya, tidak kemurahan, dan juga tidak kemahalan.

Siapa yang menyangka, bahwa Linda bisa sukses? Ia menjadi pelukis terkenal. Lukisannya banyak dibeli orang, bukan hanya orang dalam negeri, tapi lukisannya juga di jual di luar negeri. siapa yang tidak bangga, seorang anak yang dulunya miskin, kini menjadi pelukis yang kaya. Linda bisa seperti ini, karena ia mempunyai niat, dan semangat untuk menjadi orang sukses. Semangat Linda perlu kita contoh.


  • hanya cerita karangan, bukan fakta

kemerdekaan Indonesia ke 66


Sekolah mana yang tidak merayakan kemerdekaan negaranya sendiri? Di negaraku, Indonesia, di setiap sekolah, tepat pada hari ini, tanggal 17 Agustus, melaksanakan upacara bendera  peringatan kemerdekaan negara Indonesia yang ke 66. sekarangm saya akan menceritakan sebuah kisah tentang anak kecil, di sebuah desa terpencil.

“Eman! Sedang apa kamu, Nak?
“eh, Ibu. Saya lagi bikin bendera nih, Bu. Untuk memperingati hari kemerdekaan
negara kita. Ibu mau bantuin gak? Nanti, benderanya, aku bawa ke sekolah, untuk menghias kelas, kalau ada sisa, kita hias rumah ini, ya bu.”
“iya, ibu bantu.”

“Eman, kamu ikut lomba balap karung kan?” kata teman Eman yang dekat dengannya. Eman berkata, “iya, aku ikut. Eh, aku lomba dulu ya, udah mulai nih.” Semua teman sekelasnya, mendukung Eman, karena Eman terkenal paling jago balap karung. Kalau sudah begini, ketahuan deh pemenangnya, siapa lagi kalau  bukan Eman? Hihihi

Indonesia, tanah air ku, tanah tumpah darahku. Disanalah, aku berdiri, jadi pandu ibuku. Indonesia kebangsaanku, bangsa dan tanah airku. Marilah kita berseru, Indonesia bersatu.” Seketika, teman-teman Eman mendengar lagu kebangsaan Indonesia, Indonesia Raya, tapi mereka bingung siapa yang menyanyikannya. Ketika mereka mendekati tiang bendera, akhirnya mereka tahu siapa yang bernyanyi, rupanya Eman, seketika, teman-temannya ikut bernyanyi, “hiduplah tanahku, hiduplah negeriku, bangsaku, rakyatku, semuanya. Bangunlah jiwanya, bangunlah badannya, untuk Indonesia Raya. Indonesia Raya, merdeka, merdeka, tanahku, negeri ku yang kucinta. Indonesia Raya, merdeka, merdeka, hiduplah Indonesia Raya.” Eman pun gembira, mendengar teman-temannya ikut bernyanyi.

Eman benar-benar anak yang mencintai bangsanya. Tanpa disuruh, dia menyanyikan lagu Indonesia Raya di depan tiang bendera, di halaman sekolah. Jarang loh, yang bisa begitu. Kecintaannya pada Indonesia, telah menumbuhkan rasa kagum diantara teman-temannya padanya. Mereka pun ingin mencontoh sifat Eman.


Selasa, 09 Agustus 2011

the poor girl

Kisah ini bercerita tentang seorang gadis cilik di sebuah desa kecil di daerah Yogyakarta, Indonesia. Gadis ini bernama Sri Dewi, yang akrab, dipanggil Dewi. Dewi hanya tinggal bersama neneknya. Orangtua Dewi sudah tiada, namun tidak mematahkan semangat Dewi untuk tetap hidup, walaupun hanya tinggal berdua bersama neneknya.
 

Neneknya bekerja seorang diri di sebuah perkebunan teh, milik seorang juragan yang mengharuskan rakyat di desa itu bekerja di perkebunan miliknya. Para perempuan, bekerja di perkebunan teh, memetik daun teh, sedangkan para pria bekerja di sebuah perkebunan salak.
 

Setiap hari, Dewi harus menunggu neneknya pulang pada sore hari. Ia memanfaatkan waktu luangnya untuk berjualan nasi uduk, yang dimasak oleh neneknya setiap pagi. Terkadang, nasi uduk itu tidak laku, sehingga, mereka tidak mendapatkan uang untuk membeli kebutuhan sehari-hari.
 

Suatu hari, neneknya jatuh sakit, sehingga Dewi harus berusaha untuk mendapatkan uang agar bisa membawa neneknya ke dokter. Namun, siapa sangka, ketika Dewi sudah mendapatkan uang untuk mengobati neneknya, dan sudah sampai di rumahnya, neneknya sudah tiada. Dewi pun sangat terpukul. Ia pun tidak tahu bagaimana ia bisa hidup, dan dengan siapa ia akan hidup.

Suatu saat, ia berjalan-jalan di sekitar desanya, ia melihat sebuah bangunan kecil, namun bersih. Bangunan itu adalah sebuah panti asuhan, Dewi berpikir untuk tinggal disana. Awalnya, ia tidak nyaman tinggal disana, namun karena disana banyak teman-teman baru, yang baginya adalah sebuah keluarga baru, ia pun menjadi tenang hidup disana. Hidup dengan bahagia, walaupun nenek dan kedua orangtuanya sudah tiada.