Rabu, 17 Agustus 2011

gadis cacat yang sukses


Ketika seorang kakek mencangkul sawah, ia mendengar suara bayi menangis. Ia pun mencari dimana bayi itu berada. Di keranjang bayi itu terdapat surat bertuliskan nama bayi tersebut, Linda. Ketika sang kakek melihat bayi tersebut, sang kakek terlihat bingung dengan keadaan bayi itu, bayi itu terlihat tidak memiliki kaki yang sehat. Bayi itu rupanya cacat, tapi sang kakek tidak meninggalkan bayi itu sendirian, melainkan membawanya pulang dan merawatnya.

Empat belas tahun pun berlalu, yang dulunya bayi imut, sekarang sudah berupa menjadi gadis cantik, namun tidak memiliki kaki yang sehat. Hal itu tidak membuat anak itu menjadi minder, melainkan menjadi tambah semangat untuk menjalani hidup. Linda tumbuh menjadi anak yang pintar, dan sangat dibanggakan orang-orang sekitar lingkungan rumahnya, serta teman-temannya.

Sewaktu Linda mengunjungi kakek di sawah, ia terjatuh. Kakinya, masuk ke dalam Lumpur. Dalam hati ia berteriak, “kakek, tolong aku!” tapi ia tidak berteriak kepada kakek yang benar-benar ada di depannya, ia ingin mencoba bangun sendiri, tapi berkali-kali ia mencoba, ia terus terjatuh. Tanpa disadari Linda, rupanya kakek melihatnya. Kakek juga tidak membantu, melainkan diam dan memperhatikan dari jauh, karena sang kakaek ingin Linda menjadi anak yang mandiri dengan keadaannya yang seperti itu. Dengan susah payah, Linda pun dapat berdiri, syukurlah.

Ketika Linda berumur 18 tahun, seorang dari perusahan datang ke rumahnya, tanpa diundang. Ia menawarkan pekerjaan pada Linda, sebagai office girl, tapi Linda menolak, karena kakeknya ingin Linda sukses dengan kemampuan yang ia miliki. Siapa bilang Linda tidak punya bakat? Siapa bilang orang cacat tidak memiliki bakat? Justru, lebih banyak orang sukses karena cacat. Linda pun begitu, ia punya bakat yang terpendam dalam dirinya. Ia bisa melukis, di rumahnya banyak terdapat lukisan yang telah ia lukis.

Keesokan harinya, ia pergi ke suatu pasar, menjual beberapa lukisannya, namun lukisannya dijual dengan harga yang sangat murah, padahal bagus. Saat itu, ada seorang pengusaha, dan ia menghampiri Linda sambil bertanya, “Lukisan ini ingin kau jual berapa?” Linda pun menjawab, “hanya 20.000 rupiah saja pak. Bapak mau beli?” siapa yang sangka, bahwa bapak itu akan menjawab, “siapa yang tidak mau membeli lukisan sebagus ini? Apalagi dibuat oleh anak seperti kamu. Tapi apa benar lukisan-lukisan ini hanya kau jual seharga 20.000 rupiah? Apa kau tidak salah? Kalau di kota, lukisan seperti ini dijual 500.000 rupiah. Apa kau yakin?” seketika Linda bingung, “apa iya sampai semahal ituy ya?” ucapnya dalam hati. “Iya pak, saya hanya menjualnya seharga 20.000 rupiah.” Bapak itu menjawab, “baiklah, saya beli semuanya, tapi saya beri 100.000 lebih.” Linda kaget, “serius pak? Makasih pak!!” Linda pun senang, sehingga ia benar-benar serius melukis, dan ia akan menjual semua lukisannya dengan harga yang sepantasnya, tidak kemurahan, dan juga tidak kemahalan.

Siapa yang menyangka, bahwa Linda bisa sukses? Ia menjadi pelukis terkenal. Lukisannya banyak dibeli orang, bukan hanya orang dalam negeri, tapi lukisannya juga di jual di luar negeri. siapa yang tidak bangga, seorang anak yang dulunya miskin, kini menjadi pelukis yang kaya. Linda bisa seperti ini, karena ia mempunyai niat, dan semangat untuk menjadi orang sukses. Semangat Linda perlu kita contoh.


  • hanya cerita karangan, bukan fakta

kemerdekaan Indonesia ke 66


Sekolah mana yang tidak merayakan kemerdekaan negaranya sendiri? Di negaraku, Indonesia, di setiap sekolah, tepat pada hari ini, tanggal 17 Agustus, melaksanakan upacara bendera  peringatan kemerdekaan negara Indonesia yang ke 66. sekarangm saya akan menceritakan sebuah kisah tentang anak kecil, di sebuah desa terpencil.

“Eman! Sedang apa kamu, Nak?
“eh, Ibu. Saya lagi bikin bendera nih, Bu. Untuk memperingati hari kemerdekaan
negara kita. Ibu mau bantuin gak? Nanti, benderanya, aku bawa ke sekolah, untuk menghias kelas, kalau ada sisa, kita hias rumah ini, ya bu.”
“iya, ibu bantu.”

“Eman, kamu ikut lomba balap karung kan?” kata teman Eman yang dekat dengannya. Eman berkata, “iya, aku ikut. Eh, aku lomba dulu ya, udah mulai nih.” Semua teman sekelasnya, mendukung Eman, karena Eman terkenal paling jago balap karung. Kalau sudah begini, ketahuan deh pemenangnya, siapa lagi kalau  bukan Eman? Hihihi

Indonesia, tanah air ku, tanah tumpah darahku. Disanalah, aku berdiri, jadi pandu ibuku. Indonesia kebangsaanku, bangsa dan tanah airku. Marilah kita berseru, Indonesia bersatu.” Seketika, teman-teman Eman mendengar lagu kebangsaan Indonesia, Indonesia Raya, tapi mereka bingung siapa yang menyanyikannya. Ketika mereka mendekati tiang bendera, akhirnya mereka tahu siapa yang bernyanyi, rupanya Eman, seketika, teman-temannya ikut bernyanyi, “hiduplah tanahku, hiduplah negeriku, bangsaku, rakyatku, semuanya. Bangunlah jiwanya, bangunlah badannya, untuk Indonesia Raya. Indonesia Raya, merdeka, merdeka, tanahku, negeri ku yang kucinta. Indonesia Raya, merdeka, merdeka, hiduplah Indonesia Raya.” Eman pun gembira, mendengar teman-temannya ikut bernyanyi.

Eman benar-benar anak yang mencintai bangsanya. Tanpa disuruh, dia menyanyikan lagu Indonesia Raya di depan tiang bendera, di halaman sekolah. Jarang loh, yang bisa begitu. Kecintaannya pada Indonesia, telah menumbuhkan rasa kagum diantara teman-temannya padanya. Mereka pun ingin mencontoh sifat Eman.


Selasa, 09 Agustus 2011

the poor girl

Kisah ini bercerita tentang seorang gadis cilik di sebuah desa kecil di daerah Yogyakarta, Indonesia. Gadis ini bernama Sri Dewi, yang akrab, dipanggil Dewi. Dewi hanya tinggal bersama neneknya. Orangtua Dewi sudah tiada, namun tidak mematahkan semangat Dewi untuk tetap hidup, walaupun hanya tinggal berdua bersama neneknya.
 

Neneknya bekerja seorang diri di sebuah perkebunan teh, milik seorang juragan yang mengharuskan rakyat di desa itu bekerja di perkebunan miliknya. Para perempuan, bekerja di perkebunan teh, memetik daun teh, sedangkan para pria bekerja di sebuah perkebunan salak.
 

Setiap hari, Dewi harus menunggu neneknya pulang pada sore hari. Ia memanfaatkan waktu luangnya untuk berjualan nasi uduk, yang dimasak oleh neneknya setiap pagi. Terkadang, nasi uduk itu tidak laku, sehingga, mereka tidak mendapatkan uang untuk membeli kebutuhan sehari-hari.
 

Suatu hari, neneknya jatuh sakit, sehingga Dewi harus berusaha untuk mendapatkan uang agar bisa membawa neneknya ke dokter. Namun, siapa sangka, ketika Dewi sudah mendapatkan uang untuk mengobati neneknya, dan sudah sampai di rumahnya, neneknya sudah tiada. Dewi pun sangat terpukul. Ia pun tidak tahu bagaimana ia bisa hidup, dan dengan siapa ia akan hidup.

Suatu saat, ia berjalan-jalan di sekitar desanya, ia melihat sebuah bangunan kecil, namun bersih. Bangunan itu adalah sebuah panti asuhan, Dewi berpikir untuk tinggal disana. Awalnya, ia tidak nyaman tinggal disana, namun karena disana banyak teman-teman baru, yang baginya adalah sebuah keluarga baru, ia pun menjadi tenang hidup disana. Hidup dengan bahagia, walaupun nenek dan kedua orangtuanya sudah tiada.